Kamis, 05 Maret 2009

Ceritaku tentang PEMILU

Btw ,,,, tulisan ini dah aku titip posting di blog temen. Baru sempet aku posting di blog sendiri kali ini ..... semoga bermanfaat .... cheers guys .....

Jakarta, 01 Februari 2009

Bicara tentang PEMILU, sebenarnya, apa sih makna dari pemilu? Dari sejak SD, aku diberitahu oleh Ibu guru bahwa PEMILU itu kepanjangan dari Pemilihan Umum. Terus waktu sudah mulai beranjak remaja or agak dewasa, mulai juga tahu kalau PEMILU itu adalah pesta demokrasi.

Tapi kalau sekarang, makna PEMILU sudah berubah buatku, yaitu menjadi PEMILU sama dengan fenomena lima tahunan. Agak berlebihan memang kedengarannya. Tapi buat aku pribadi, ada banyak hal yang membuat aku berpendapat demikian.

Aku memandang pemilu sebagai sebuat fenomena karena setiap akan dilaksanakan pemilu, si pemilu ini jadi bahan perbincangan, diskusi, perdebatan, ataupun berita yang paling hebat. Baik di stasiun televisi, surat kabar ataupun dikalangan para politisi serta petinggi petinggi negara.

Bukan cuma buat orang yang semangat pingin nyoblos (karena berbagai alasan, misalnya memang simpatisan partai, atau nge fan sama calegnya atau berbagai alasan lainnya), tapi juga buat orang-orang yang apatis sama pemilu dan memilih jadi golput, ikutan ramai memperbincangkan soal pro kontra mereka tentang si pemilu dan partai-partai beserta caleg-caleg yang ada di dalamnya. Dan yang paling menghebohkan adalah berita yang aku dengar minggu lalu tentang fatwa MUI yang mengharamkan menjadi golput alias tidak nyoblos!!! Walaaaaaah … kok ya lebih heboh dari sensasi goyang ngebor Mbak Inul Daratista ya?!!!

Selain itu, satu yang aku temukan adalah, menurut aku, yang namanya si pemilu ini ternyata sudah jadi suatu fenomena sosial buat masyarakat yang tinggal di daerah perkampungan-perkampungan Ibu Kota. Terutama bagi kalangan para ibu rumah tangga. Contoh real nya, gak jauh-jauh, yaitu di lingkungan tempat tinggalku sendiri.

Coba aja, setiap hari para ibu-ibu sibuk ngobrolin tentang parpol plus para calegnya. Gak cuma waktu nenangga atau waktu arisan aja. Tapi waktu pengajian dan senam pun yang rame di obrolin tentang itu. Fenomenal kan? Biasanya obrolan para ibu-ibu kan kisarannya gossip, anak, keluarga, harga belanjaan dan topik yang paling favorit gossip-gosip infotaiment serta sinetron, tapi kali ini semuanya tampak kalah pamor sama yang namanya pemilu (alias parpol plus calegnya).

Karena penasaran, aku coba nimbrung dalam perbincangan ibu-ibu tetangga, pengen tahu, apa sih sebenarnya yang membuat para pakar sinetron dan infotaiment ini tercuri perhatiannya oleh si pemilu? Dan ternyata …. Wow ….. really interesting! Karena bukan Cuma pemilunya aja yang di obrolin, tapi juga soal ikut jadi kader atau simpatisan partai. Hebat kan?

Iseng-iseng aku bertanya kepada salah seorang Ibu setengah baya yang aktif di PKK tentang mau jadi kader atau simpatisan partai apa? Siapa ketua partainya? Dan kenapa mau jadi kader atau simpatisan partai tersebut?

Pertanyaan kesatu dijawab oleh si Ibu bahwa dia mau jadi anggota partai A. Pertanyaan kedua juga dijawab bahwa ketua parpolnya Bapak Anu. Dan …. Nah … pertanyaan ketiga ini yang sangat menarik jawabannya. Katanya Ibu tersebut mau jadi anggota partai A karena suatu hari, salah seorang anggota partai tersbut datang ke rumahnya bersama salah seorang caleg. Katanya sih silaturahmi. Singkat kata perbincangan tersebut berakhir pada permintaan agar si Ibu menginformasikan kepada rekan-rekannya agar berkumpul disuatu tempat, karena sang Caleg mau memperkenalkan diri. Dan bagi yang hadir nantinya akan dapat sembako. Walaaaah ….. pantes aja para ibu-ibu semangat 45 buat datang, pikirku. Dan lebih jauh lagi, aku dengar bahwa bukan cuma satu parpol saja yang sudah datang silaturahmi, tapi sudah beberapa (alias lebih dari 2 atau 3) yang pada saat acara silaturahmi selesai, mereka memberikan “ucapan terima kasih” atas waktunya dalam bentuk uang, sembako bahkan ada yang memberi souvenir berupa kerudung.

Mendengar hal tersebut, aku jadi berfikir, ini sebenarnya “ PESTA DEMOKRASI” atau “PESTA DAPUR NASI” sih? Sementara buat para politisi dan para petinggi Negara, pemilu menjadi sebuah ajang kompetisi demi memenangkan suatu kedudukan, sedangkan buat para ibu-ibu tersebut pemilu jadi ajang mengisi waktu luang sambil mencari tambahan penghasilan. Sungguh sebuah ironi. Tapi, bukan salah ibu-ibu tersebut untuk menerima hal-hal tersebut. Karena toh itu tidak merugikan siapapun.

Hanya saja, buat ku, yang lebih menyedihkan lagi adalah karena ternyata saat ini pemilu sudah kehilangan makna sesungguhnya, yaitu demokrasi. Karena fenomena sosial yang terjadi tersebut seakan menjadi suatu indikasi bahwa tak ada lagi nilai luhur moralitas yang dapat dijadikan penarik perhatian untuk para ibu-ibu rumah tangga tersebut selain dari iming-iming materi yang tidak seberapa nilainya. Sangat menyedihkan untuk mengetahui bahwa tak lagi ada nilai amanah yang bisa dijunjung dan dijadikan nilai promosi utama yang bisa dijual oleh parpol dan calegnya.

Mungkin anda semua tahu beberapa kasus gontok-gontokan dua kubu karena perebutan posisi kepala daerah. Jika kita melihat hal tersebut menggunakan nurani, maka hal tersebut sungguh merupakan sebuah cerminan akan hilangnya makna “amanah” seorang pemimpin. Bukankah apabila nilai amanah tersebut masih ada dalam diri yang tak terpilih, maka tak akan mungkin ada protes atau pertempuran fisik antara kedua kubu yang terpilih dan tak terpilih? Karena bila terpilih, sadarkah akan seberapa besar hal yang harus dipertanggung jawabkan orang tersebut pada saat akhir zaman tiba nanti? Pemilihan kepala daerah, atau pemilihan anggota legislative, atau pemilihan kepala Negara, seharusnya bukan lihat sebagai ajang kompetisi seperti layaknya pertandingan olah raga. Dimana selalu ada pihak yang menang dan yang kalah. Melainkan dilihat sebagai suatu ajang akan pemberian kesempatan tentang akan dipikulnya sebuah tanggung jawab dengan nilai amanah didalamnya.

Sebagai orang yang sangat awam dalam hal agama dan sangat buta tentang politik, aku jadi bertanya-tanya tentang fatwa “haram tidak nyoblos” nya MUI. Karena bila yang jadi calonnya saja tidak bisa menjunjung nilai amanah dalam dirinya sendiri, lalu bagaimana aku bisa menentukan pilihanku? Apakah aku harus pake system “hitungan kancing baju” atau tutup mata dan asal sekenanya aja? (Kalau kata orang betawi istuilahnya Da De Do kena masa bodo). Lalu, kalau begitu, jika yang kita pilih ternyata orangnya tidak amanah, kita yang udah milih beliau tersebut dosa juga dong! Artinya nyoblos gak nyoblos sama-sama dosa. Gitu gak sih?

Sahabat-sahabatku, apa yang aku tulis ini bukan untuk menyalahkan system demokrasi, bukan juga untuk menjelek-jelekkan partai-partai politik. Aku sangat sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Apa yang aku tuliskan ini adalah merupakan gambaran kesedihan hatiku akan realita yang ada. Dan hingga saat ini pun, aku masih belum tahu pasti apakah aku akan menggunakan hak pilih ku atau tidak. Sampai saatnya pesta demokrasi itu tiba, aku akan membiarkan nuraniku melihat, mendengar dan menentukan apa yang sebenarnya Tuhan inginkan untuk aku lakukan. Karena aku selalu percaya bahwa apa yang dikatakan oleh nuraniku adalah apa yang Tuhan bisikkan untukku.

SELAMAT MENJELANG PESTA DEMOKRASI 2009. SEMOGA KATA “AMANAH” MENJADI KUNCI KEBERHASILAN PEMILU DI TAHUN INI!

2 komentar:

  1. setujuh!!
    emang yang namanya amanah itu kuncinya...
    sadar bahwa jabatan yang diemban itu sebenarnya titipan dari mereka yang udah men-contreng nama si caleg itu... dan tentu saja Tuhan YME..

    BalasHapus
  2. To Anna :

    Sip banget .... jadi mo pake sistim kancing ... apa mau madol aja gak dateng ke TPS???? kekekekekekek

    BalasHapus